Monday, May 24, 2004

Sebenernya gue lagi bete banget... banyak kerjaan but lagi gak mood banget... dari pagi dikejar-kejar mulu ama para pm, para ae, buat nyelesaiin desain dan f.a. dan masih ada 1 layout yang mesti gue kerjain...
dari pada gue gak konsen, so gue iseng masuk blogger dan ngutak-utik ni blogger... akhirnya jalan lagi blogger ini... gak tau apakah para anggotanya masih pada mau ngisi gak yah...
iseng banget gue yah...

Thursday, January 10, 2002

Udah bisa lagi...

Friday, December 28, 2001

Gue baru dengar kabar, kalo Upy ditahan di Antigua... Berita selengkapnya ada disini

Ayu Utami - "Larung"


(Inilah yang dikatakan nenekku ketika aku datang untuk membunuhnya:)

Kau bukan cucuku, Larung. Kau adalah anak yang dipungut dari orang tua yang punya keturunan gila. Seperti Karna yang dibuang Kunti dalam suatu nasib sedih, engkau tumbuh sebagai satria yang dikhianati. Kau bukan cucuku, karena itu aku mencintaimu.

Engkau larung, engkau arung, masih ingatkah kau pada malam yang keruh seperti mataku kini, ketika aku memandang ke arah laut.

Simbah mengusir orang-orang yang datang kembali untuk mengambil kami semua. Jangan panggil aku Simbah lagi. Sebab aku telah tak bernama dan tak berkata. Tetapi aku pernah memandang ke arah laut. Dan kau pernah begitu mungil dan tak berdaya. Kau pernah begitu gembira.

Masih ingatkah kau pada senja ketika aku mengajarimu memakan serangga. Lalu mereka berkata, lihatlah, nenek sihir itu sedang mengajari cucunya ngeleak. Tetapi orang-orang kampung pun makan larva dan laron, apa mereka tak tahu. Dan ketika itu Gunung Agung baru saja meletus, memanggang manusia dan binatang-binatang suci ke dalam api dan jelaga. Kau begitu mungil dan orang-orang begitu miskin serta kelaparan. Kau seumpama Sidharta yang tumbuh di sebuah pekarangan, di luarnya orang-orang menderita, kau tidak tahu. Hanya lotus dan harum cempaka kau kenali. Maka marilah, kataku, menatap tanah.

Lalu kuajari engkau mencari pada senja gundukan kecil kumbang merah yang muncul dari dalam tanah. Di Jawa orang menyebutnya lonte, atau sonte, betina ranum yang segera dibuahi ratusan jantan begitu ia mentas ke permukaan. Maka seroklah mereka semua ~ seribu jantan dan satu betina ~ dan kumpulkan di dalam stoples sebelum digoreng dalam minyak mendidih dengan tepung dan garam. Juga kuajari engkau menadahi laron dari nyala lampion, lalu mengayaknya pada tampah hingga sayapnya patah, sebelum menyangrainya dalam wajan berasap. Lalu kita mencium baunya yang langu menyengat.

Tidakkah liurmu membanyak?

Masih ingatkah kau ketika engkau memakan larva pertamamu? Juga pada senja, kita mengeduk di antara rerumput enam ekor uret. Bulat dan putih seperti gajih. Begitu lunak dan bersih. Jangan tunggu lagi, kata kita, sebab ia belum bertai. Jangan tunggu sampai ia menjelma kumbang badak yang keras dan bersembunyi di pucuk nyiur. Maka dengan gembira kita tusuki mereka dengan lidi, lalu membakarnya dengan api dari arang kelapa, dan menjadikannya lauk bagi nasi mengebul dengan kecap, lima untukmu lima untukku, di dekat dapur. Tetapi ibumu marah. Katanya, jangan mengajari bayiku makan binatang yang menjijikkan.

Lalu kataku padanya, tak ada yang menjijikkan di dunia ini sebagaimana tak ada yang salah tak ada yang benar. Sebagaimana bilatung akan memakan kita ketika kita tak lagi berdaya, maka kita pun memakan mereka. Engkau mendengarnya dan mengerti. Ibumu tidak.

Masih ingatkah kau percakapan kita, ketika kau pernah begitu gembira. Kau bertanya kenapa kita mempunyai kata untuk ulat dan bilatung, juga uget-uget, tetapi tak mempunyai kata yang sepadan dengan larva. Barangkali, Nak, kataku. Orang Jawa memberi nama khusus bagi segala anak binatang dan semua bunga bebuahan yang mereka lihat. Kita menyebut gogor maupun cemeng, tobil maupun sawiyah, sebagaimana kita menyebut ulat bagi bayi serangga

pemakan daun serta sigat bagi pemakan daging dan busukan. Tetapi kita tidak mempunyai yang sepadan dengan larva untuk merujuk pada kateogri metamorfosa. Sebab, Nak, kanak-kanak adalah sebuah keberadaan yang berdiri sendiri, terpisah dari kedewasaan. Ia bukan sekadar bagian dari proses menjadi matang, sebab apakah kematangan itu jika bukan proses menjadi mati? Kanak-kanak adalah dunia mandiri, dengan bahasanya sendiri. Ia bukan persiapan menuju sebuah puncak sebab puncak itu tak ada. Masa adalah jutaan kepisahan, bukan kelanggengan. Karena itu, biarkan menjadi indah sebelum ia berubah. Tapi kau tak mengerti.

Lalu kau bertanya kenapa kupu-kupu begitu cantik sementara lalat kotor dan menjijikkan. Apakah karena yang satu makan sayur dan yang satu makan daging ketika mereka masih bayi? Tapi kataku yang salah adalah ibumu. Sebagaimana orang-orang awam lainnya, ibumu tak bisa memisahkah rasa terancam dari kebencian. Sebab kejijikan datang dari rasa takut. Diam-diam manusia gentar pada bilatung karena binatang kecil itu memakan daging kita. Lalu ibumu menyebutnya jorok. Tapi tak ada yang menjijikkan di dunia ini, kataku, jika kita tahu memisah antara bahaya dan benci.

Maka, masih ingatkah kau, aku ajari engkau bernyanyi di pekarangan, bukan pada senja melainkan pada pagi. Kuajari engkau mengagumi keket dengan sebuah lagu. Kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau terbang, hilir mudik mencari, bunga-bunga di taman. Kini, nyanyikanlah sekali lagi. Sekali lagi. Cupu-cupu yang lucu.





Tahun 1964, ingatkah kau, jauh sebelum aku memandang ke arah laut, ketika kau belum punya rasa takut. Kita menempati sebuah rumah, tempat putraku ~ orang yang kau panggil bapak ~ diperintahkan tinggal. Ia masih begitu muda, pangkatnya baru letnan dua(?), tubuhnya ramping. Kita datang dari Jawa, ke Bali, dengan truk dan feri, ketika ia bergabung dengan Batalyon 741 di Kuta. Ia begitu muda, kau begitu gembira. Tapi bagiku, kau tak tahu, betapa telah lama aku meninggalkan pulau kanak-kanakku. Setengah abad kubiarkan masa lalu itu larut bersama kutukan sebab pada masa gadisku aku meninggalkan puri(?) dan orangtuaku demi seorang Belanda petualang. Kini aku kembali, meski hanya di selatan, meski hanya ke arah kelod. Aku telah tua, dan seluruh keluargaku telah moksa(?) bersama kegeraman mereka.

Kuingat kau, begitu kecil untuk jatuh cinta. Tetapi orang dewasa sering lupa anak kecil bisa juga kasmaran. Mereka umumnya naksir yang jauh lebih besar. Kau juga begitu, terhadap gadis kecil Cina, ayahnya berdagang beras dari jatah bantuan yang diterima pasukan tentara tempat bapakmu bergabung ~ orang yang kau panggil bapak. Hahaha, kau bertemu Mo Hwa karena ayahmu begitu dekat dengan ayahnya. Mereka bekerja sama dalam bisnis beras itu, ketika negeri ini paceklik, tak ada panen, hanya subsidi bahan pokok murah bagi pegawai negeri dan militer. Mereka tentu saja menghematnya, lalu menjual sisanya kepada orang-orang yang tak kebagian jatah, dan mendapat untung, dan membeli lagi. Itulah salah satu kerja ayahmu. Ia mengumpulkan dari anggota yang lain yang juga mau menjual beras, dan menyalurkannya ke toko ayah Mo Hwa. Dari modal berasnya sendiri, ia bisa mendapat untung dua kali lipat. Sebab ia membeli sekilo 30 perak dan toko itu menjualnya dengan harga normal, 130 perak, lalu labanya dibagi dua. Dari beras anggota yang lain, ia mendapat uang jasa sebagai perantara. Aku pun membeli, dari simpananku, satu dua karung untuk dititipkan ke toko Kembodja milik ayah Mo Hwa.

Toko itu terletak di perempatan, amat dekat dari komplek kita. Tidakkah memorimu buram. Kau sering bermain ke sana dan membiarkan Mo Hwa mengasuhmu dalam tangannya yang lembut seperti berembun. Kau empat tahun, dia sembilan tahun. Tapi dari matamu aku tahu kau jatuh cinta waktu melihatnya pertama kali. Ia duduk di belakang laci, sedang menghitung dengan sempoa, dengan jari-jarinya yang kecil dan kukunya yang dadu. Dan biji sempoa itu hitam bulat-bulat. Kau menunjukkan coklat yang kau hendak bayar kepadanya. Ia, yang semula menunduk, menatapmu, seketika tersenyum sebab kau begitu mungil, muncul dari balik stoples gula-gula. Dan di matamu ia begitu cantik, bukan? Ia baru mandi sore. Segar seperti hujan. Kau bisa menghirup lembab sabun dari kulitnya. Pipinya merah dan bibirnya mungil basah seperti bawah lidah. Rambutnya tidak setebal ijuk, tetapi itu membuatnya nampak lembut. Ia menghadiahimu satu permen kelinci. Sejak itu kau selalu pingin kembali.

Sering kutemukan kau dalam pangkuannya. Jika warung mereka tutup cepat, pada setiap Selasa, begitu menurut yang dipercaya ayahnya, ia mengajarimu berhitung dari papan-papan muka toko yang hijau telur bebek (kau menyebutnya telur asin), ketika orang sedang menyusun sesuai nomor yang ditera, 1 hingga 24. Tapi 1 sampai 4 cukup buatmu untuk menghitung umurmu. Jika tak kutemukan kau di depan, maka kau ada di dalam. Inilah yang kau ingat, ruang yang gelap dan agak pengap. Bau alum asap hio yang telah tahun-tahun lekat pada dinding dan langit-langit, seperti lembab, seperti bau gladiol layu. Sebuah altar merah yang menjadi pusat nyala ketika siang. Patung Kwan Im dari porselin. Lubang angin menghitam. Sebuah jendela mati. Sebab di baliknya mereka telah membangun gudang, juga untuk menyimpan karung-karung beras. Maka mereka mengecat kaca jendela itu dengan warna tua sehingga kau mengira di luarnya selalu malam.

Kau ada di ruang itu, pada sofa dari kulit imitasi dengan meja kayu dan kembang palsu. Kau duduk bersama Mo Hwa, makan dari mangkuk yang sama, nasi dengan kuah daging. Lalu ia menceritakan kepadamu hal-hal sederhana yang tak bisa kau ingat lagi. Hanya lembab kulitnya yang kau kenang. Tetapi di luar kamar, dunia tidak sederhana. Kau begitu kecil.

Dan dunia tidak sederhana. Dan kau begitu kecil. Dan dunia tidak sederhana. Kau begitu kecil.

Kita bisa mendengar suara laut. Tetapi ke sebelah utara, ke arah gunung, tak lagi ada kedamaian, melainkan paceklik dan gerubug. Kau sedang tidur, kau tak sanggup mengingat ataupun gugup, ketika Gunung Agung gemuruh. Dari pantai kurasakan kemarahannya yang besar, energinya yang tak nampak, yang tak hanya meletus dari mulut yang pecah, melainkan juga keluar dari pori-pori tanah seperti roh maut. Lalu kulihat pelan-pelan jelaga menyelubungi pulau ini, seperti arwah raksasa, seperti sisa kemarahan yang belum selesai, yang darinya kota tak bisa sembunyi. Tetapi di lerengnya, awan itu menggelegak luar biasa cepat dan mendidih. Orang desa tak bisa melihatnya, mereka hanya bisa mati terpanggang setelah ketakutan yang tiba-tiba. Pohon-pohon layu. Hewan-hewan matang. Segala kulit terkelupas dan bulu-bulu lepas. (tentang persiapan eka dasa rudra yang porak poranda).

Kemudian mereka menulis di koran-koran, tak hanya tentang busung lapar dan orang-orang yang menjadi arang, tetapi juga tentang penimbunan beras oleh para lintah darat, pengisap rakyat, mereka menyebutnya begitu. Mereka telah mencium subsidi yang tak rata dari Jakarta. Juga paksaan terhadap petani untuk menjual murah kepada pemerintah, dan harga beras yang begitu mahal sehingga mereka tak mampu membeli kembali berasnya sendiri. Kau masih terlalu kecil untuk mengerti.

Tetapi kau tidak terlalu kecil untuk melihat apa yang kau lihat. Dengan gemetar Nyoman Pintar membopong kalian berdua, Mo Hwa dan kau, ke dalam rumahnya. Seratus meter dari toko. Dari jendela engkau saksikan, ketika itu senja, seperti barisan gerilya turun gunung, dikhianati dan lapar, para pemuda membawa pentung dan kentong. Puluhan jumlahnya, barangkali seratus. Mereka orang komunis, kau dengar bisik di ruangan. Mereka orang sosialis. Mereka orang nasionalis. Tidak, kataku, mereka orang-orang lapar. Kau tak bisa mengenali wajah mereka. Yang kau ingat adalah mulut-mulut yang terbuka sebelum mereka membelakangimu, merangsek toko dan rumah Mo Hwa dengan teriakan yang tak kau tangkap. Kau heran dengan apa yang terjadi, dan kau tak berhenti heran ketika mereka menyeret ayah Mo Hwa keluar dan menghajarnya hingga tak bergerak. Kalaupun kau melihat darahnya dari kejauhan, kau tidak tahu cairan apakah itu sehingga kau hanya akan bertambah heran. Sebab kau belum pernah melihat kekejian. Kau tak mendengar suaranya, maka kau tak tahu ia kepayahan. Tetapi Mo Hwa melihat semua itu dan menangis keras lalu istri Nyoman Pintar segera merebutnya dari sisimu, ke kamar tidur tanpa jendela. Kau melihat orang-orang mengangkuti karung-karung beras, juga barang-barang kelontong. Akhirnya kau lihat mereka pergi, sepi, dan ayah Mo Hwa yang tergeletak. Hanya dari tangis Mo Hwa kau tahu sesuatu yang sedih terjadi. Sebab kau telah tahu apa arti tangis.

Sejak itu kau tak pernah melihat gadis kecil itu lagi. Kau merengek untuk pergi ke rumahnya, tetapi bahkan papan-papan toko telah koyak, memperlihatkan sebuah ruang seperti sisa perkosaan. Gelap dan tanpa harapan. Kemana Mo Hwa, itu pertanyaanmu. Kau mengintip ke dalam dan menjadi takut. Suatu kecemasan yang belum kau mengerti dalam kata-kata, bahwa yang terjadi pada toko ini juga terjadi pada Mo Hwa. Tubuhnya yang lembut. Tidak, jawabku, ia hanya pergi, ke Surabaya, ke rumah kanak-kanak ibunya, sebab hidup di sini telah jadi mustahil. Kau tidak menangis, sebab menangis hanya mungkin jika kau melihatnya pergi. Ia hilang. Dari wajahmu kutahu engkau amat sedih. Tapi kau tak tahu apa itu sedih.

Tidakkah kau ingat semua itu.

Setahun kemudian, 1965, kau melihat seperti barisan yang sama, kali ini lebih besar jumlahnya dan lebih nyaring derap dan kentongnya, menuju ke rumah kita. Kau tidak menyadari waktu, tetapi aku mencatat tanggal itu: November. Kau tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku menggores semua itu dalam urat-urat jantungku. Mereka datang mengambil anakku, tanpa mengetuk pintu. Sebab sebelum mereka menyentuh daunnya, aku telah berdiri

di sana. Telah kudengar sebelumnya, bisik-bisik orang menuduhku menyimpan ular di lipatan stagen. Nenek itu leak, rangda dengan ilmu sad tatayi(?), sebab setiap janda adalah potensi bahaya. Telanjangi dia dari kain pinggangnya maka kita temukan jimat. Telah kudengar itu. Maka kubuka pintu dan kutatap mereka. Tak satupun mendekatiku tetapi mereka mengambil anakku. Kau melihat semua itu. Putraku, orang yang kau panggil bapak, berpeluh di sudut kamar. Lalu ia mengenakan seragamnya, tanda kegagahannya yang terakhir. Tetapi ia belum memakai sepatunya ketika orang-orang telah tak sabar. Salah satu masuk dari dapur, mengira anakku akan kabur. Pemuda itu, dia baru belasan tahun, menghardik begitu keras seperti salak senjata. Seperti tiada lagi rasa hormat pada orang tua, ia bawa putraku pergi tanpa alas kaki, orang yang kau panggil bapak. Tidakkah kau ingat pantovel hitamnya terserak dan ibumu tersedak.

Kataku: lupakanlah. Sebab aku melihat dengan mataku yang tak tampak. Mereka membawa anakku ke banjar bersama yang lain, lalu memisahkan yang tentara dari yang sipil, dan menganiaya yang militer lebih kejam. Kulihat mereka menanggalkan seragamnya dan menggantung anakku di tangannya pada pohon asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan popor, menindih tungkainya dengan kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa kesalahannya, tak ada lagi orang yang bertanya. Sebab ia dikenal semua tentara di komplek kita, sebab ia biasa datang dari rumah ke rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika para perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September, semua menyebut namanya.

Mereka memfitnahnya, kata ibumu. Tidak, kataku. Sebab hidup adalah pilihan semena. Suamimu, anakku itu, barangkali bukan komunis, partai komunis barangkali tidak kudeta, tapi apa arti semua itu? Orang-orang harus menunjuk orang lain untuk menyelamatkan diri. Maka mereka menyebut namanya. Itu saja yang terjadi. Seperti segala binatang dan kita hidup dengan memakan yang lain, manusia selamat dengan mengorbankan yang lain. Mengapa engkau merasa aneh?

Ibumu menangis. Aku tidak menangis. Sebab aku telah mengosongkan diriku dari segala keheranan dan ketakbersediaan. Dan sebuah kekuatan lalu mengisi kehampaan itu, tetapi orang-orang menyebutnya ilmu hitam. Tetapi apakah itu hitam? Kenapa engkau membenci kegelapan?

Tiga hari kemudian aku merasa putraku padam, energinya sirna seperti bara yang habis. Barangkali ia dibawa bersama-sama yang lain dalam truk yang menghantar mereka ke sebuah lubang besar di sebuah ladang. Tetapi ia telah mati ketika mereka diberondong.

Lalu aku mendengar, orang-orang menyebut ibumu gerwani. Ibumu memakai beha hitam dengan lambang bintang merah di satu pucuknya, palu arit di pucuk yang lain, kata mereka. Ia mengumpulkan perempuan-perempuan dan mengajar tari telanjang, dan mengirim wanita-wanita untuk merayu para prajurit dengan pinggul mereka agar percaya pada komunisme, bukan pada segala tuhan. Sembari bernyanyi genjer-genjer. Tetapi aku tahu ibumu dan istri Nyoman Pintar kerap berada di bangsal dan mengajari sesama istri tentara membikin ketupat dan janur dari daun nyiur. Mereka semua pendatang. Dan daun genjer hanyalah sayuran yang membuat tinjamu lengket panjang.

Maka aku berdiri di muka pintu dan memandang ke arah laut ketika aku tahu para algojo itu dalam perjalanan. Telah kutunggu sebelum mereka tiba untuk mengambil menantuku juga. Kau mengintip dari celah jendela ketika orang-orang itu datang dengan lampu-lampu kecil. Kita mendengar suara laut, tetapi di sana tak ada kapal-kapal yang bercahaya. Hanya kilat mercusuar di kejauhan. Lalu kataku pada rombongan yang datang: aku yang tertua di kampung ini. Menantuku bukan gerwani. Kalaupun dia gerwani, dia punya bayi yang harus dibesarkan. Tapi akulah yang gerwani.

Lalu mereka pergi. Dan aku masih memandang ke arah laut beberapa saat lagi, merasakan gemuruhnya dalam ruang hampa diriku.

Tetapi aku tak pernah heran akan kejahatan. Pun tak pernah aku mengutuknya. Sebab aku telah mengosongkan diriku. Aku tak pernah bertanya. Kau, Nak, selalu bertanya. Kelak, waktu kau menjadi tua kau akan tahu arti kekosongan dari segala nilai ataupun harapan. Kau akan tahu rasanya hampa, yaitu keadaan di mana tak ada bahasa untuk mengerti. Suatu . Itu tidak membuatmu bahagia. Juga tak membuatmu sedih. Tidak membuatmu apa-apa. Tapi,

Nak, ketika kau masih mengenal bahasa, maka bernyanyilah. Bernyanyi dengan kata-kata. Perdengarkan kepadaku sebuah lagu, yang pernah kuajarkan dulu, ketika suaramu belum stabil: kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau pergi. Cupu-cupu yang lucu. Ke mana engkau tak pergi.

(~Ayu Utami)

di copy dari MSN.OR.ID diketik ulang oleh Ivo

Blogger udah normal kok... Basycnet Juga udah normal... dan sekarang gantian gue yang bingung... kenapa semua komplain... padahal kan udah jalan semua...
Py... Epriting is Oke... jadi loe bisa menghibur diri lagi...

Kronologisnya begini...

Sebelum natalan, semua staff blogger, udah pada liburan... dan otomatis blogger dijalankan dengan mesin... hingga pada tanggal 25 Desember, ada cracker yang menyusup dan membuat kacau balau.... Dalam statusnya eve, telah dijelaskan bahwa blogger sempat di hacked dan di himbau untuk mengubah password FTP...

Sudiana dot com, tempat dimana aku hosting... seperti biasa, sebelum libur tahun baru, mereka melakukan maintenance, karena akan ditinggal liburan panjang... jadi mohon maaf....

To Sius...
Sorry bro... semalam gue masuk angin... abis muter-muter naik motor... sekali lagi... MAAF... janji mo mojok di ICQ terpaksa ditunda...

To Igoy...

SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU, SEMOGA BEBAHAGIA MELALUI BAHTERA RUMAH TANGGA...

Monday, December 24, 2001

Py... Aku coba telp... ke HP... Tulalit... Kirim Fax... gak bisa... Network Engage.... Network Busy... No HP-nya emang udah bener Py...?

We wish you a merry X-mast...
We wish you a merry X-maaaaast...
And Happy New Year........

Selamat Natal dan Taon Baru... Preennnnn...

Thursday, December 20, 2001

Em.. enak ya py... ada Internet, bisa ngisi terus... tadi "Nova" ehem...hem... Missed call 2 kali, tapi gue gak sempat angkat... masih molor... ada apa yah...?

Mengenai alamat email, loe bisa liat di "TEAM" ada semua... kalo emailnya si "Nova" udah ada kan... hi...hi...hi...

Tuesday, December 18, 2001

Kemarin gue balik dari jakarta, dan sekarang udah ada di Bali lagi...

Saturday, December 15, 2001

MOHON MAAF LAHIR & BATHIN...